-->

Minggu, 29 Januari 2012

Keunikan Indonesia yang "memprihatinkan"

Berikut ini adalah postingan tentang keunikan lainnya dari Indonesia yang dapat kita bahas. Selain itu, berikut kami tampilkan foto-foto khas dari sebuah entitas bernama Indonesia yang tidak ada bandingannya dengan negara lain. Sebuah suguhan kultural yang menarik dan nikmat dipandang. Selamat menikmati suadara-saudara.

1. Permukiman mewah “Wong Cilik”


Siapa sangka kalau sekarang golongan masyarakat menengah kebawah / wong cilik memiliki tempat tinggal yang “mewah”.  Ini merupakan salah satu gambaran khas permukiman elit Indonesia yang disebut dengan The Kuw Muh Elite Village. Kenapa bisa dibilang elite? Bukan karena golongan konglomerat, tetapi letak permukiman tersebut berada di tengah pusat kota Metropolitan. Letaknya sangat strategis, yaitu disebelah gedung-gedung yang tinggi dan dekat dengan jalan tol/ fly offer sebagai tempat mencari rezeki bagi penghuni permukiman tersebut. Selain itu, fasilitas yang diberikanpun cukup elite. Dimulai dengan fiew permukiman  tersebut langsung berhadapan langsung dengan “river” (river disini adalah kali yang sudah tercemar.red), dan permukiman tersebut menawarkan 5 in 1 (mandi, cuci, kakus,tidur plus rekreasi dijadikan 1 akses). Bagaiman tidak elite saudara-saudara? Bahkan penyewaannyapun tidak mahal-mahal.

Kembali lagi pada kenyataannya, SALAH SIAPAKAH INI ? pemerintah pusat, daerah atau para urban. Terserah dari kaca mata mana untuk menjawabnya, yang jelas ini adalah gambaran khas di negara ini.
2. Pengangkut Sampah Otomatis

Di negara lain mungkin jarang ditemukan “pengangkut sampah otomatis” versi Indonesia, kecuali kalau negara itu termasuk negara berkembang. Mau tau seperti apa ? dan mau tau siapa yang menemukannya? Semuanya bisa terjawab pada sebuah foto dibwah ini.
 
Bak tangga berjalan (eskalator), masyarakat sekitar memanfaatkan aliran sungai untuk mengangkut sampah mereka.



Sudah tau kan seperti apa “Pengangkut Samapah Otomatis” dan siapa yang menemukan ? tidak lain dan tidak bukan lagi adalah masyarakat negeri ini sendiri. Maka tidak heran pula ketika hujan datang, banjir pun berlangganan. Setelah itu menyalahkan pemerintah yang kurang tanggap. Tapi ada benarnya juga, yaitu kurang tanggap dalam memberikan sosialisasi (seharusnya yang diberi sosialisasi adalah anak-anak dan remaja) dan pemberian sangsi yang tegas. Bukan hanya sekedar himbauan tertulis di pinggiran sungai saja.

3. Taxi executive


 
Masyarakat Indonesia sangat senang sekali akan moda transportasi berikut. Hingga Taxi yang konvensional saja kalah akan Taxi Executive/ ankot. Why ? karena angkot murah dan full music (banyak pengamen). Selain itu angkot juga memiliki ciri khas tersendiri yaitu : (1) Berheti dan belok semau gue alias dimana saja, (2) Orang dengan leluasa merokok didalamnya, (3) Banyak AC nya alias Angin Cendela, dan (4) Bisa sodakoh didalam angkot alias banyak pengemis. Begitulah gambaran dari taxi executive masyarakat Indonesia.

4. Rumah Masa Depan
 

Hampir mirip dengan The Kuw Muh Elite Villege, rumah masa depan juga dihuni oleh para urban yang gagal mengadu nasib di kota metropolitan. Tak tanggung-tanggung yang mereka tempati adalah sepetak rumah masa depan sesungguhnya adalah kuburan orang keturunan tiongkok. Alih-alih membesarkan anak mereka, juga memberi nasihat bahwa kelak juga akan istirahat didalam peti mati. Ya walaupun cara mereka salah, yaitu memenempati kuburan sebagai tempat tinggal namun apa boleh buat. Kecuali ada pejabat yang mau memberikan villanya buat mereka dan masa depan anak-anaknya.
 

5. Pasar Maut
 

Seperti namanya, banyak bahaya maut yang mengintai dan sewaktu-waktu bisa mendatangi para pengunjung pasar ini. Pasar yang didirikan di pinggiran rel kerata api yang masih aktif ini, seakan-akan sudah terbiasa bagi para pengunjung dan pedagang didalamnya. Walaupun sering kali digusur, tetapi mereka tidak gentar untuk membangun kembali, bahkan semangat mereka lebih hebat dibandingkan para pahlawan. Karena meraka hanya menginginkan sesuap nasi dengan bekerja, namun apadaya pemerintah tidak memikirkan nasib mereka. Pemerintah lebih mementingkan pembangunan mal-mal yang megah dibandingkan memaksimalkan pasar tradisional yang sudah ada sejak dulu. 
 

6. PKL
 

PKL atau singkatan dari Pedagang Kaki Lima, seringkali menjadi problematika yang sangat rumit di Indonesia. Banyak para PKL menggunakan sarana umum yang bukan haknya dipakai untuk berjualan misalnya di pinggiran jalan (trotoar), persimpangan jalan, halte bus, dll. Penyebabnya mereka membuat lapak ditempat tersebut adalah kurangnya lahan untuk mereka. Kalaupun ada, lahan tersebut kurang memadai atau sepinya pengunjung. Sehingga tak bisa dihindari lagi selalu saja ada bentrok antara PKL dengan aparat satpol PP untuk penertipan. Sebenarnya apabila pemerintah pusat maupun lokal proaktif dalam mengatasi permasalahan ini seperti pemerintah kota Solo, tidak akan berujung perseteruan antara PKL dengan satpol PP. Dengan perlakuan yang manusiawi dan perencanaan pemindahan lokasi yang matang, permasalah ini tidak berangsur-angsur menjadi pelik. Masyarakat kecil menengah juga butuh tempat untuk berjualan yang nyaman dan aman serta bersih seperti pusat perbelenjaan (mal) namun berkonsep trandisonal.

7. Pengemis 
 

Banyak sekali masyarakat negeri ini yang “berprofesi” sebagai pengemis. Kenapa disebut profesi ? karena sebagian besar mereka yang mengemis sehat jasmani dan malas bekerja, mereka menginginkan mendapatkan secara instan dan mengemis adalah penghasilan utama mereka. Mereka beralasan cari pekerjaan jaman sekarang susah, jelas saja susah pekerjaan yang ada membutuhkan tenaga yang profesional dan sudah ada ketentuan pendidikan yang didapat dari pekerjanya. Sekarang klo kerja saja malas, SMP saja tidak lulus, mau kerja dimana?. Maka dari itu pendidikan sangat penting. Apalagi pemerintah sudah ada dana BOS untuk pendidikan 9 tahun, dan masih banyak lagi beasiswa bagi yang kurang mampu. Selain dari pendidikan, pekerjaan juga bisa didapat dengan inisiasi dari diri sendiri, tidak cuma mengandalkan lapangan pekerjaan yang ada, tapi memanfaatkan bakat yang ada dalam diri sendiri, misalnya saja “pengemis” yang ada di luar negeri, meraka tidak Cuma mengandalkan belas kasihan dari orang lain, tapi mereka meberikan pertunjukan yang unik agar memikat perhatian orang lain. Sehinngga cara mereka lebih bermartabat dimata orang lain.

8. Tawuran antar pelajar/MAHAsiswa
 

Satu lagi gambaran khas dari negeri ini yang jarang sekali ditemukan di negara lain. Yaitu tawuran/bentrokan antar pelajar bahkan antar mahasiswa. Bagi masyarakat yang “berpendidikan” di negeri ini sudah biasa dan tidak heran lagi. Tetapi bagi masyarakat negeri yang sudah maju menganggap ini adalah hal yang sangat tragis. Lebih tragis lagi adalah bentrokan antar mahasiswa yang masalahnya hanya sepele yaitu percintaan atau perselisihan individual yang berujung perselisihan massal. Seharusnya merekan lebih menggunakan otak mereka, bukan dengan hawa nafsu mereka. Apalagi mereka MAHAsiswa, yang berpendidikann dan berintelektual. Apakah otaknya sudah berdisposisi di “dengkul” (lutut.red), sehingga tidak menggunakan pikirannya dengan benar?. Sungguh memalukan jika dibandingkan dengan mahasiswa dari negara lain, prestasi yang diraih hanya membuat kerusuhan dan merusak fasilitas umum. 
 


Jumat, 30 Desember 2011

Refleksi Kebebasan Pers 2011

”Mendorong Profesionalisme, Melawan Ancaman Kekerasan dan Jerat Hukum”

Bahas Kekebasan Pers: Suasana refleksi Kebebasan Pers 2011 dihelat AJI Padang, d

PADANG EKSPRES. Kebebasapers hanya indah diucapkan, tapi sulit dilaksanakan. Sejumlah tindak kekerasan terhadap para jurnalis, mewarnai perjalanan dunia pers selama tahun 2011. Para pemburu berita, juga dibayang-bayangi jerat hukum dalam setiap menjalankan tugas.

Renungan itu disampaikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang dalam acara bertajuk ”Refleksi Kebebasan Pers 2011” dengan tema ”Mendorong Profesionalisme, Melawan Ancaman Kekerasan dan Jerat Hukum”. Acara tersebut digelar tadi malam di Laga-laga, Taman Budaya Sumbar. Selain menyampaikan refleksi, juga digelar testimoni para insan pers, penampilan puisi serta seni tradisi rabab.

UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah lebih 12 tahun diundangkan, tapi kondisi kebebasan pers Indonesia masih jauh dari harapan. Setiap tahun, ancaman datang silih berganti, meski UU telah memberi jaminan yang tegas terhadap kebebasan pers.

 Selama 2011 saja, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat terjadi 49 kasus kekerasan fisik dan nonfisik terhadap jurnalis di seluruh Indonesia. Bila dibandingkan dengan setahun sebelumnya, angka ini sedikit menurun dari angka 51 kasus pada 2010.

 Walau secara keseluruhan menurun, namun angka kekerasan fisik pada 2011 meningkat dari 16 menjadi 19 kasus. Pelaku kekerasan selama 2010 didominasi oleh aparat pemerintah dan kelompok massa. Kekerasan fisik itu, meliputi intimidasi, teror, pemukulan, penyerangan, pengeroyokan dan pembakaran.

Satu dari kasus tersebut, terjadi di Sumbar. Pada Kamis 23 Juni 2011, sejumlah jurnalis dihalang-halangi, diusir dan diintimidasi oleh beberapa oknum prajurit TNI Angkatan Udara ketika meliput pesawat aero modelling yang jatuh di kawasan Tunggulhitam, Padang termasuk saat meliput korban yang dilarikan di RSUP Dr M Djamil, Padang.

Kasus yang dikawal Koalisi Wartawan Anti-Kekerasan (KWAK) Sumbar ini sudah dilaporkan ke Dewan Pers. Namun, setelah ditindaklanjuti oleh Dewan Pers, belum ditanggapi oleh Mabes TNI Angkatan Udara.

”Meski masih terdapat kekerasan, selama 2011 tidak ada laporan jurnalis yang terbunuh. Ini catatan baik, bila dibandingkan 2010 dengan catatan, tiga jurnalis dibunuh terkait tugas-tugasnya sebagai jurnalis,” kata Ketua AJI Padang Hendra Makmur didampingi Sekretaris Rus Akbar kepada Padang Ekspres kemarin.

Sejak 1996 hingga 2010, AJI (dalam Laporan Tahunan AJI Indonesia 2011) mencatat, 11 jurnalis terbunuh ketika menjalankan tugas-tugas jurnalistik. Mereka adalah, Fuad M Syafruddin alias Udin, wartawan Harian Bernas, Yogyakarta (1996), Sayuti Bochari, wartawan mingguan Pos Makassar dan Naimullah, wartawan Sinar Pagi, Pontianak (1997).

 Setelah reformasi, jurnalis yang dibunuh/terbunuh dalam menjalankan tugasnya masih tinggi. Tercatat: Mohamad Jamal, jurnalis TVRI Banda Aceh dan Ersa Siregar, jurnalis RCTI (2003), Elyudin Talembanua jurnalis di Gunungsitoli (hilang sejak 2005),

Herliyanto, wartawan lepas harian Radar Surabaya di Probolinggo (2006), Anak Agung Prabangsa, wartawan Radar Bali (2009) serta Alfrets Mirulewan, jurnalis mingguan Pelangi Maluku, Ridwan Salamun, jurnalis Sun TV di Maluku dan Ardiansyah Matrais, jurnalis Merauke TV (2010).

Berbagai ancaman kekerasan dan pembunuhan harus ditambah dengan peraturan perundang-undangan yang mengancam kebebasan pers. Selain ancaman pasal-pasal pencemaran nama baik dalam KUHP, setidaknya ada sembilan regulasi baru yang berpotensi mengancam kebebasan pers.

Aturan tersebut yaitu, yakni UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU No 17 tahun 2011 tentang Intelijen, RUU Rahasia Negara, RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi, RUU Konvergensi Telematika, Revisi UU Penyiaran Nomor 32/2002, Revisi Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP).

Persoalan Profesionalisme dan Etika Jurnalistik Dewan Pers mencatat data pengaduan masyarakat terkait pelanggaran etika pemberitaan pers sebanyak 470 kasus hingga Oktober 2011 (Dewan Pers, 2011). Ini juga menurun bila dibanding 2010 yang tercatat sampai 514 kasus pelanggaran etika pemberitaan pers.

”Dari berbagai masalah, Divisi Etik Profesi AJI Indonesia menyatakan, ada tiga problem mendasar pemberitaan pers meliputi: data tidak berimbang (22 kasus), mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi (10 kasus), dan pemberitaan tidak akurat (8 kasus),” ungkap Hendra, yang juga wartawan Media Indonesia.

Meskipun jumlah pelanggaran etika jurnalistik cenderung menurun, namun angkanya masih bergerak pada level tinggi. Berbagai pelanggaran terhadap etika jurnalistik kemudian juga memicu munculnya kekerasan terhadap jurnalis.

AJI juga mencatat banyaknya pelanggaran kode etik jurnalistik dalam pemberitaan media terkait kasus kejahatan seksual terhadap perempuan  dan anak-anak. Persoalan tersebut belum termasuk, masalah seputar kesejahteraan jurnalis yang masih memprihatinkan.

Menyikapi berbagai masalah tersebut, kata Hendra, AJI Padang mengimbau kalangan jurnalis meningkatkan kewaspadaan terhadap setiap potensi kekerasan yang mengancam, memahami hukum yang terkait dengan tugas-tugas sebagai jurnalis serta menjaga solidaritas guna menghindari jerat hukum, kekerasan bahkan pembunuhan yang sering terjadi selama ini.

AJI Padang mengajak para jurnalis senantiasa meningkatkan kapasitas dan kompetensi jurnalistik, meningkatkan kepatuhan kepada etik serta menghindari pemberitaan yang tidak akurat untuk perbaikan profesionalisme jurnalis sekaligus menghindari risiko jerat hukum dan kekerasan.

”Kami juga meminta perusahaan pers aktif memberikan perlindungan profesi dan standar keselamatan kerja jurnalis dan karyawannya, meningkatkan kesejahteraan jurnalis baik yang berstatus karyawan tetap, koresponden, kontributor, stringer, maupun freelancer,” papar Hendra.

Selanjutnya, AJI meminta penyelenggara negara, penegak hukum dan masyarakat ikut serta menjaga kebebasan pers seperti diamanatkan UU No 40/1999 sekaligus menghindari kekerasan fisik dan nonfisik terhadap jurnalis.